Suara Kota | Arah Mata Angin

0


image source: Pinterest


Suara Kota


Arah Mata Angin  


Motor yang lewat dengan suara yang keras tentu sudah tidak asing lagi bagi kita yang tinggal di kota. Pusatnya kebisingan, itu kota. Mulai dari motor motor kecil yang berdengung, mobil mobil yang membunyikan klakson karena kesal dengan motor yang nyelip-nyelip, bus yang berderum panjang, bahkan kadang ada derapan kaki kaki cilik yang berkeliaran dijalan. Entah bagaimana caranya, kota menjadi sangat bising.
 
“Kiri bang!” teriak seorang ibu di angkot seraya menyerahkan 4.000 pada si supir. Lalu ia meneriakkan selamat tinggal pada teman barunya di angkot sambil membawa sapu lidinya yang baru ia beli dari pasar. Tas pinggang yang diselempangkan dari pundak kanan ke pinggang kiri itu masih tercuat 2.000-an. Tangan kirinya menggandeng anaknya yang berusia 4 yang bahagia habis dibelikan seekor ikan cupang yang bisa ia pamerkan nanti. Tangan kanan ibu itu membawa sapu lidi dan kunci rumah.
 
Pekerja kantoran yang baru akan berangkat dengan parfum yang wangi belum bercampur keringat menaiki bus kota menuju kantor masing masing. Mbak-mas yang ada di mini market yang memulai hari itu dengan tersenyum dan berkata “Selamat datang di Indo*aret, ada yang bisa kami bantu?” pada setiap pelanggan yang memasuki toko. Menanyakan kartu member, menawarkan tebus murah, tidak lupa meminta tas kain. Karena, beberapa kota seperti Jakarta, sudah tidak lagi menyediakan kantong plastik di minimarket
 
Beberapa hentakan kaki, eongan kucing yan mencari perhatian, dan entah suara apa lagi yang masih ada di kota. Suaranya hanya itu itu saja. Tidak pernah berubah. Dari hari ke hari, tahun ke tahun. Entah kapan suara itu akan berakhir. Terkadang suara demo atau teriak beramai ramai pun terdengar. Sayangnya, bukan orang yang mereka inginkan yang mendengar suara mereka.
 
Terkadang, aku tidak tahu, kenapa kota begitu bising. Mungkin jawabannya satu. Karena kota, adalah kota. Itu adalah takdir yang kurasa tak satupun dari kita bisa mengubahnya. Kota tanpa kebisingan tidak akan terasa seperti kota. Kota akan terus menjadi kota, dia tidak akan pernah berubah, sampai kota itu dihancurkan dan menjadi ‘sampah’ di negaranya.
 
Terlahir di kota besar, berkeliling kota kecil di masa kecil, dan bertumbuh besar di kota besar. Itulah aku. Kebisingan kota bukanlah masalah besar bagiku. Bagiku, satu satunya cara untuk menerima semua suara itu, hanya dengan mendengarkan kota berbicara. Suaranya mungkin tidak jelas, sulit dipahami. Namun seperti juga alam terpencil, kota juga ingin dipahami.
 
Aku bukan orang yang suka mendengarkan ocehan orang lain. Namun jika sudah mendengarkan, aku ingin rasanya memutar ulang ocehan itu sampai aku bosan. Sudah ribuan ocehan kota yang kudengarkan, kota juga sudah sering mendengar ocehanku. Lalu mengapa masih sulit bagiku untuk mendengar ocehan manusia? Aku ingin mendengarmu berbicara, seperti caraku mendengarkan kota. Kota telah membantuku belajar mendengarkan.
 
Ketika mendengar manusia berbicara, kau hanya akan dapan mendengarkan ocehan yang keluar dari mulutnya, atau sekecil kecilnya suara gerak geriknya. Namun mustahil kamu bisa mendengar suara hatinya. Percaya atau tidak, jika mendengar suara kota dengan seksama, kau mungkin akan mendengar cicitan burung gereja yang berbincang ditengah keramaian kota. Atau mungkin obrolan anak anak tentang hari kemarin. Atau mungkin desahan capai orang yang baru saja pulang. Suara kota yang bising di protes oleh mereka yang menyukai ketenangan. Namun mereka lupa bahwa suara hati kota lebih indah daripada suara manusia manapun di bumi. Ketenangan akan ditemukan ketika kita mendengarkan.

 

 

 

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)